Jumat, 21 Juni 2013

Tulisan 13 Akuntansi Internasional


Menyikapi "Stress Test" Perbankan dari IMF


Bramanian Surendro
Beberapa waktu lalu, Dana Moneter Internasional atau IMF merilis laporan, Indonesia: Financial System Stability Assessment. Beberapa isu dalam laporan itu meliputi sektor perbankan, asuransi, dan pasar modal. Juga IMF mencantumkan hasil stress test atas industri perbankan (121 bank) Indonesia.
Hasil stress test ini cukup sensitif dan ramai diberitakan media. Beberapa poin sensitif tersebut antara lain: bank pelat merah (termasuk BPD) menjadi kelompok bank yang paling rentan terhadap gejolak ekonomi, kredit macet (non performing loan/NPL) mencapai 31,5 persen (saat ini sekitar 3 persen), 37 bank akan mengalami kekurangan modal, sementara 13 bank berpotensi menjadi bank gagal.
Biaya rekapitulasi yang diperlukan pada kondisi itu akan mencapai Rp 72 triliun. Porsi terbesar dari biaya rekapitulasi itu ditujukan bagi bank pelat merah atau Bank BUMN, yakni sekitar Rp 55 triliun.
Stress test tersebut dilakukan dengan menggunakan dua metode, yang diistilahkan IMF sebagai metode top-down (TD) dan bottom-up (BU).
Dalam metode BU, 12 bank terbesar berdasarkan aset disertakan. Ke-12 bank ini menguasai sekitar 60 persen aset perbankan nasional. Proses simulasi dilakukan dengan melibatkan pihak bank, di mana pihak bank akan memberikan masukan atas antisipasi yang akan mereka ambil saat terjadi perubahan besaran variabel makroekonomi.
Dalam metode TD, 115 dari 121 bank disertakan. Beberapa hasil dari metode BU disertakan sebagai masukan dalam pembuatan model ekonometri di metode TD. Simulasi terhadap model kemudian dilakukan berdasar sejumlah asumsi makroekonomi yang ditetapkan di awal.
Karena model dan sebagian besar variabel ditetapkan di awal, langkah penyelamatan yang mungkin diambil pemerintah sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter tidak tercermin dalam simulasi.
Hasil-hasil stress test yang sudah disebutkan di atas merupakan sebagian hasil yang diperoleh dari metode TD.
Mungkin karena judulnya stress test, IMF hanya menggunakan satu skenario krisis (extreme shock) dalam proses simulasi. Skenario krisis tersebut di awali dengan kenaikan tajam harga komoditas pangan dan energi (harga minyak dunia mencapai 120 dollar AS per barrel, skenario normal 100 dollar AS per barrel), dibarengi penurunan kepercayaan investor. Inflasi yang meroket akan memangkas daya beli dan aktivitas konsumsi hingga menyebabkan aktivitas ekonomi ikut terpuruk, di mana PDB disebut mengalami kontraksi sebesar hampir 5 persen. Modal asing akan keluar, mendorong pelemahan nilai tukar rupiah (Tabel 1).
Mengingat sektor perbankan cukup rentan pada sentimen negatif, informasi sensitif seperti stress test ini seharusnya tidak disampaikan kepada publik, apalagi berasal dari lembaga sebesar IMF.
Karena sudah telanjur diakses publik, bagaimana hasil tersebut seharusnya disikapi? Perlukah hasil tes itu dikhawatirkan? Perlu disadari bahwa apa yang ada dalam laporan itu bukan merupakan proyeksi atas kondisi ekonomi dan sistem perbankan Indonesia untuk beberapa waktu ke depan.
Karena bertujuan untuk mengetahui daya tahan sistem perbankan dalam menghadapi krisis, IMF memilih menggunakan skenario ekstrem dalam model simulasi. Seharusnya tidak terlalu mengejutkan bila kemudian beberapa poin negatif muncul. Bagaimana pun, gejolak ekonomi akan memengaruhi sektor perbankan. Ini tidak hanya berlaku bagi perbankan Indonesia, tapi juga perbankan di negara-negara lain.
Beberapa poin hasil stress test juga dapat digunakan oleh otoritas fiskal dan moneter di sini untuk memperkuat sistem perbankan kita, terlebih saat ini ekonomi dunia masih diliputi ketidakpastian.
Relevansi
Lalu, bagaimana relevansi skenario IMF dengan perkembangan ekonomi global akhir- akhir ini. Naiknya tekanan inflasi akhir-akhir ini bisa menimbulkan kesan skenario awal krisis dalam tes IMF mungkin saja terjadi dalam waktu dekat. Apalagi kenaikan harga minyak ke level 120 dollar AS per barrel masuk di dalam skenario krisis tersebut. Harga minyak pernah mencapai level ini pada triwulan kedua tahun 2008.
Harga minyak yang tinggi pernah memaksa pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada tahun 2005 dan 2008, mendorong inflasi secara signifikan.
Pada tahun 2008, inflasi tertinggi mencapai sekitar 12 persen. Sementara, tahun 2005 inflasi tertinggi mencapai 18,4 persen. Dalam skenario krisis IMF, inflasi disebutkan mencapai 18,3 persen di tahun pertama krisis.
Saat ini, harga minyak dunia di kisaran 76 dollar AS per barrel. Pergerakan harga minyak ini ternyata tidak setinggi yang diperkirakan pada awal 2010. Energy Information Administration (EIA) di AS menurunkan proyeksi harga minyak dunia di akhir tahun 2010 dari sekitar 82 dollar AS per barrel (outlook EIA di awal 2010) menjadi 78 dollar AS per barrel (outlook EIA per September 2010).
Karena itu, kenaikan tajam harga minyak dunia dan harga komoditas energi lainnya sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Hal ini akan mengurangi tekanan bagi ruang fiskal pemerintah sehingga tidak perlu mengambil langkah drastis yang mungkin dapat mendorong inflasi tidak terkendali.
Pemerintah bahkan memiliki waktu yang seharusnya cukup untuk mempersiapkan serangkaian kebijakan dalam mengantisipasi tekanan dari naiknya harga komoditas energi dunia.
Misalkan inflasi benar-benar naik tidak terkendali, skenario krisis IMF menyebutkan bahwa suku bunga acuan akan naik hingga 20,9 persen di tahun pertama krisis. Kenaikan suku bunga acuan setinggi itu pasti membuat aktivitas ekonomi domestik melambat signifikan.
Lalu, apa poin skenario ini realistis? Pengalaman pada tahun 2005 dan 2008 menunjukkan bahwa pada saat inflasi naik tajam, BI tidak meresponnya dengan menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) hingga di atas level inflasi. Tahun 2005-2006 BI Rate tertinggi mencapai 12,75 persen (inflasi tertinggi 18,4 persen). Sementara tahun 2008, BI Rate tertinggi 9,5 persen (inflasi tertinggi 12,1 persen).
Respons tersebut sudah cukup mengingat tekanan inflasi bukan datang dari sisi permintaan. Bila tidak ada kejutan lanjutan yang membuat tekanan inflasi bertahan, efek dasar akan membuat level inflasi tahunan turun dengan signifikan di tahun berikutnya (gambar 1).
Kondisi berbeda mungkin terjadi bila tekanan inflasi diperkirakan berkelanjutan dan bertahan dalam waktu yang lama. Pada kondisi ini, BI mungkin saja merespons dengan menaikkan BI Rate hingga di atas level inflasi.
Namun, kondisi ini justru tidak tercermin dari skenario krisis IMF karena pada tahun kedua krisis, level inflasi diasumsikan turun signifikan (tabel 1). Artinya, skenario krisis IMF di titik ini tidak realistis.
Dari alasan itu, bila kenaikan suku bunga acuan dalam skenario krisis IMF tidak dipatok setinggi seperti yang disebutkan, potensi penurunan aktivitas ekonomi tentu juga tidak sedalam yang diasumsikan IMF (minus 5 persen). Bila kondisi ini dikenai pada model simulasi stress test IMF, hasil yang ada mungkin jauh lebih positif.
Terlepas dari simulasi IMF, perkembangan ekonomi Indonesia beberapa waktu terakhir juga masih positif. Selain itu, pemerintah dan BI sudah dan akan mengimplementasikan rangkaian kebijakan yang dapat memperkuat sektor perbankan dan sektor finansial lain agar kita lebih siap menghadapi gejolak ekonomi di masa mendatang.
 Bramanian Surendro Analis Danareksa Research Institute


OPINI :
            Dari artikel diatas dapat disimpulkan secara garis besar yakni adanya simulasi yang dilakukan oleh IMF terhadap perbankan Indonesia yang menujukkan bagaimana keadaan ekonomi dan ancaman yang akan dihadapi oleh perbankan Indonesia akibat gejolak ekonomi yang dimana salah satunya adlah inflasi. Akan tetapi ada beberapa hal yang tidak tercermin dalam simulasi IMF tersebut. Walapun demikian, yang terpenting adalah melihat simulasi IMF tersebut sebagai peringatan dan acuan untuk memperbaiki perekonomian Indonesia, pemerintah dan BI sudah dan akan mengimplementasikan rangkaian kebijakan yang dapat memperkuat sektor perbankan dan sektor finansial lain agar kita lebih siap menghadapi gejolak ekonomi di masa mendatang.

Tulisan 12 Akuntansi Internasional


Eric Schmidt: Google Dukung Reformasi Pajak Internasional
 
Penulis : Anton Alifandi
Minggu, 19 Mei 2013 | 16:40 WIB



LONDON, KOMPAS.com - Komisiaris eksekutif Google, Eric Schmidt mengatakan, pihaknya mendukung reformasi sistem perpajakan internasional agar lebih sederhana dan transparan. Schmidt menyatakan sikapnya menanggapi tekanan politik di Inggris agar Google membayar pajak korporasi yang lebih besar.
Ketua Komisi Akuntabilitas Publik Parlemen Inggris, Margaret Hodge, dalam sidang dengar pendapat Kamis (16/5/13) menuduh Google berbuat jahat, licik dan tidak etis dalam menjalankan bisnisnya di Inggris. Sebelumnya Perdana Menteri David Cameron juga menuduh praktik bisnis Google di Inggris amoral. Komentar ini mereka lontarkan karena rendahnya setoran pajak korporasi Google untuk transaksi bisnis yang pada hakikatnya berlangsung di Inggris.
Pada tahun 2011, omzet penjualan iklan Google di Inggris bernilai 3,2 miliar poundsterling (sekitar Rp 47,7 triliun), tetapi perusahaan itu hanya membayar pajak korporasi sebesar enam juta poundsterling (sekitar Rp 89,5 miliar), jumlah yang amat rendah bila dibandingkan dengan tingkat pajak korporasi sebesar 28 persen. Google mengatakan, sebagian besar kontrak penjualan iklannya disahkan di Republik Irlandia, sehingga perusahaan itu tidak berkewajiban membayar pajak di Inggris.
Reformasi pajak
Dalam tulisannya di koran Minggu Inggris The Observer (19/5/13), Schmidt berharap agar pemerintah Inggris sebagai tuan rumah pertemuan puncak G8 bulan depan menjadikan reformasi perpajakan internasional sebagai salah satu agenda utama. Namun dia memperkirakan bahwa proses reformasi itu akan berjalan alot karena berbagai negara mempunyai kepentingan yang berlawanan. Schmidt memperingatkan bahwa kalaupun reformasi ini berhasil, tidak berarti bahwa semua negara akan diuntungkan.
Schmidt mengatakan, reformasi itu baru akan menguntungkan semua negara apabila tingkat pajak korporasi secara global dinaikkan secara signifikan, suatu tindakan yang menurutnya tidak bijaksana. "Konsekuensinya kemungkinan besar adalah inovasi berkurang, pertumbuhan berkurang dan penciptaan lapangan kerja berkurang," tulisnya.
Nada tulisan Schmidt yang pro reformasi pajak berbeda dengan reaksi awalnya terhadap tekanan politik yang dihadapi perusahaannya. Dalam komentar kepada Bloomberg Desember lalu, Schmidt mengaku bangga dengan cara Google menyiasati pajak. "Saya sangat bangga dengan struktur (pajak) yang kami dirikan. Itulah kapitalisme," katanya ketika itu.
Selain Google, Komisi Akuntabilitas Parlemen Inggris juga menyoroti rendahnya setoran pajak perusahaan-perusahaan multinasional seperti perusahaan eceran internet Amazon dan jaringan café Starbucks. Ketiga perusahaan tersebut pertama kali dipanggil oleh parlemen November tahun lalu. Menyusul sidang dengan Google Kamis lalu, Hodge mengatakan Amazon akan dipanggil untuk kedua kalinya dalam waktu dekat.
Amazon pada tahun 2012 membukukan omzet 4,3 miliar poundsterling, tetapi hanya membayar pajak korporasi 2,4 juta poundsterling. Sementara Starbucks selama tiga tahun sampai 2012 sama sekali tidak membayar pajak korporasi di Inggris dan selama 14 tahun beroperasi di Inggris hanya membayar 8,6 juta poundsterling. Padahal, pada tahun 2011 saja, omzet penjualan Starbucks di Inggris mencapai 400 juta poundsterling.
Sorotan parlemen terhadap Starbucks menimbukan boikot konsumen dan mendorong perusahaan itu untuk meningkatkan pembayaran pajaknya secara sukarela. Jajak pendapat yang dilakukan badan survei YouGov menunjukkan bahwa preferensi konsumen terhadap Starbucks turun dari 22,7 menjadi 15,4 persen, sementara preferensi terhadap Costa yang merupakan pesaing utama Starbucks naik dari 31,8 menjadi 39,4 persen. Seruan agar konsumen menggunakan situs penjualan online selain Amazon dan mesin pencari selain Google juga semakin meningkat.

OPINI :
            Dari artikel diatas kasus perpajakan yang terjadi diantara pemerintahan dan perusahaan multinasional sesungguhnya di akibatkan oleh penetapan standar perpajakan yang berbeda diantara keduanya sehingga terjadi konflik dan masing-masing pihak merasa tidak diuntungkan. Inilah pentingnya penyeragaman suatu standar agar hal seperti ini tidak terjadi dan semua pihak merasa adil. Tetapi hal ini tidak mudah, seperti yang telah dibahas di artikel tersebut bahwa proses reformasi itu akan berjalan alot karena berbagai negara mempunyai kepentingan yang berlawanan. Schmidt memperingatkan bahwa kalaupun reformasi ini berhasil, tidak berarti bahwa semua negara akan diuntungkan.
            Tindakan atas solusi yang bisa diambil yakni dengan penyeragaman standar perpajakan internasional yang dimana bijak terhadap kondisi dari masing-masing pihak yakni perusahaan multinasional dan pemerintah, mengambil jalan tengah diantara kedua nya, agar kedua pihak merasa adil dan tidak ada pihak yang dirugikan.